PEKALONGAN realitapublik.id — Mediasi sengketa rumah warisan di Kelurahan Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara, memicu polemik baru. Lurah Krapyak, Banar Budi Raharjo, dituding tidak netral karena menyarankan agar rumah dijual dan hasilnya dibagi, bukannya memprioritaskan penyelesaian masalah berdasarkan bukti dan hukum yang berlaku.
Tanggapan keras ini datang dari Agus Tiarso, Ketua Ormas Probojoyo Kota Pekalongan, yang menilai proses mediasi di kantor kelurahan itu terkesan tidak berimbang dan berpotensi menyalahi prinsip keadilan.
Sengketa ini bermula sekitar 15 tahun lalu, ketika tiga bersaudara—almarhum Tajudin, Ali, dan Rifa’i—meminjam uang total Rp16,5 juta dari almarhumah Mbah Umi. Pihak keluarga Mbah Umi menafsirkan pinjaman tersebut sebagai pembayaran rumah, sehingga kini mengklaim rumah telah dibeli.
Namun, ahli waris membantah klaim tersebut karena tidak ada bukti tertulis atau akta jual beli yang sah. Sertifikat rumah hingga kini masih tercatat atas nama keluarga pewaris dan tersimpan di bank.
“Sertifikat masih atas nama keluarga kami, tapi kami ditekan seolah-olah tidak punya hak,” ungkap Mohammad Izul Faqih, ahli waris pengganti almarhum Tajudin.
Dalam mediasi, Lurah Banar Budi Raharjo dilaporkan mendorong keras agar rumah tersebut dijual. Selain itu, pihak ahli waris juga didesak untuk membayar utang lebih besar karena sudah menunggak 15 tahun.
Bersama Ibu Ani, Kasi Bidang Pemerintahan, disepakati bahwa utang awal Rp16,5 juta dinaikkan menjadi Rp20 juta, di mana kenaikan ini disebut sebagai “jasa,” bukan bunga.
Lurah juga memprotes keberatan ahli waris terkait waktu pelunasan yang singkat. “Lha, terus mau minta waktu berapa tahun lagi? Kalau di bank, hutang selama 15 tahun ini bunganya sudah berapa banyak?” ujarnya, seperti dikutip salah satu ahli waris.
Akhirnya, ahli waris menyepakati pelunasan Rp20 juta dalam waktu 1,5 bulan. Jika gagal, rumah akan beralih ke keluarga Mbah Umi dengan kompensasi kekurangan yang ditanggung pihak mereka—meski harga rumah tetap dipatok hanya Rp36 juta sesuai kesepakatan lisan awal.
Ketua Ormas Probojoyo, Agus Tiarso, menegaskan bahwa mediasi yang terkesan memihak ini menimbulkan kecurigaan.
“Masalah hutang adalah persoalan finansial, bukan dasar untuk memindahkan hak milik atas tanah atau rumah. Mengaitkan keduanya tanpa bukti hukum yang jelas menimbulkan ketidakadilan bagi ahli waris dan menyalahi prosedur hukum yang berlaku,” tegas Agus Tiarso.
Ia mengingatkan aparat kelurahan bahwa fungsi mediasi harus berlandaskan bukti tertulis dan ketentuan hukum yang sah, bukan tekanan atau asumsi.
“Lurah itu representasi negara di tingkat bawah. Jangan sampai kebijakannya justru memperkeruh keadaan atau menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat,” lanjutnya.
Ormas Probojoyo pun mendesak Pemerintah Kota Pekalongan untuk memberikan pembinaan hukum bagi para lurah, agar mereka memahami batas kewenangan dan dapat menyelesaikan sengketa warga secara profesional, netral, dan sesuai koridor hukum.
Penulis : Feri
Editor : Red